Aktivis ? Why Not, asal, (bukan tipikal bebek)
Saat anda pertama kali
mendengar kata “aktivis”, imajinasi seperti apa yang muncul dalam benak
anda ?. Apakah sosok orang yang kritis, idealis, lama lulus, urakan,
jarang kuliah dan kerjaannya demo dan ngomongin
politik melulu ?. Kebanyakan dari kita sekarang ini memandang aktivis
sebagai sosok yang berbeda dari orang kebanyakan,untuk tidak menyatakan
“orang aneh”.
berikutnya yakni apakah setiap
orang yang memilih jadi aktivis pasti identik dengan hal-hal di atas ?.
Bukankah banyak aktivis yang menyelesaikan studi tepat waktu dengan
nilai yang memuaskan, berpenampilan rapi dan tetap tidak kehilangan
identitasnya sebagai seorang aktivis. Artinya, beberapa aktivis yang
berpenampilan urakan, jarang kuliah dan lama lulus adalah sebuah pilihan
pribadi dan bukan sebagai konsekuensi logis menjadi seorang aktivis.
Sebagai seorang mahasiswa, menjadi aktivis adalah sebuah panggilan moral. Mahasiswa sebagai agent of change dan agent of social control
sebenarnya adalah penyambung lidah rakyat. Konsekuensinya, tugas
mahasiswa tidak hanya belajar dan sibuk dengan tugas-tugas, melainkan
juga membumi ke masyarakat. Hal ini sesuai dengan Tri Dharma Perguruan
Tinggi yang menyiratkan aspek pendidikan, penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat. Dari konsep ini dapat terlihat jelas bahwa ruang
lingkup mahasiswa adalah studi dan masyarakat.
lantas bagaimana dengan mahasiswi perempuan ?
Apa yang terpikirkan
petama kali di benak anda tentang "aktivis perempuan" dengan sosok yang
lemah lembut, gemulai, anggun turut turun dijalanan ? atau pernahkan
kalian (mahasiswi) terpikirkan sedikitput turut aksi dan berteriak
meyerukan kegundahan kalian terhadap negeri kita ini.
mahasiswa perempuan cenderung apatis terhadap demonstarsi , hanya sedikit dari sekian banyak yang bersimpati kepada hal ini, kepekaan terhadap masalah bangsa kita cenderung tidak berfungsi.
Mahasiswa sebagai agent of social change adalah perubah dan pelopor ke
arah perbaikan bangsa. Kendati demikian, paradigma ini belum menjadi
kesepakatan bersama antarmahasiswa. Sebab, sebagian mahasiswa masih
apriori (cuek) terhadap eksistensi diri sebagai mahasiswa. Bahkan, tak
mau tahu-menahu keadaan masyarakat sekitar. Bagi mereka, terpenting
adalah duduk di bangku kuliah lantas cepat pulang ke rumah, titik.
tipologi mahasiswa !
ibarat peta, ragam dinamika kampus akan menuntun dan menawarkan pilihan
bagi mahasiswa, mencari apa dan hendak kemana adalah mutlak bagi
mereka. Dari tiga tipologi mahasiswa itu, mahasiswa akan bermetamorfosa
sesuai dengan yang diinginkan, tumbuh berkembang menjadi aku-nya. Tak
ayal, pilihan menjadi aktifis, hedonis, dan akademisi adalah warna
tersendiri. Lalu, bagaimana gambaran dari tiga tipologi mahasiswa
tersebut:
mahasiswa aktivis
Gak aktif gak asiyik,” naluri mahasiswa adalah kritis
terhadap lingkungan sosial, politik, budaya, dan ekonomi disekitar
mereka, peka terhadap gejala-gejala yang timbul di lingkungan
masyarakat dan negara. Tak dimungkiri, mahasiswa dengan tipologi ini
rela bermandikan keringat hanya untuk berdemonstrasi menolak kebijakan
pemerintah yang tak pro rakyat, melayangkan berbagai tulisan dan kritik
lainnya, melakukan bakti sosial di masyarakat dan bejubel
kegiatan lainnya. Sekilas, ini tipe ideal. Tapi mahasiswa aktifis, kudu
pintar membagi waktu dan mengatur jadwal kegiatannya supaya tak
bergeser dari pesan Mama “Nak kuliah yang benar, cepat selesai dan
baktilah pada masyarakat” alias aktif bisa, belajar kudu.
Dari corak pemikiran mahasiswa aktifis, memang cenderung berapi-api,
orasi berkoar-koar dan sangat bergairah. Apalagi jika lingkungan kampus
juga sarat politik, maka mahasiswa aktifis berada dijalurnya, mereka
tak hanya belajar teori tapi juga merangsek lebih dalam diruang
praktik, ruang publik. Tapi, tak ada yang sempurna, realita yang saya
saksiskan di lingkungan kampus sendiri, banyak mahasiswa aktifis yang
senang berlama-lama kuliah, mengejar impian politik dan jabatan lainnya
yang dianggap prestisius.
Fenomena lainnya, mahasiswa aktifis juga tak bersih dimata mahasiswa
dan lingkungan sosialnya. terkadang, idiologi mereka juga sudah
ditumpangi kepentingan elite politik dan kepentingan pribadi. Tak
jarang, setelah mendapat posisi di kampus, tak ada aplikasi riil
kegiatan yang mengakomodir kepentingan mahasiswa di kampus. Entahlah,
dibalik lantangnya orasi dan semangat mengkritisi, ternyata masih
banyak kesan negatif lainnya yang melekat pada sosok mahasiswa aktifis
ini.
Mahasiswa Hedonis:
Salah satu tipe paling unik adalah tipe mahasiswa hedonis. Jangan salah
kaprah, mahasiswa hedonis tak semuanya borju, yang pas-pasan kekuatan
ekonominya pun ada yang nimbrung dalam golongan ini. “Orang Kaya sombong, wajar. Lah kalau orang miskin?”
begitulah kira-kira banyak orang mengomentari mahasiswa tipologi ini.
Selain itu, istilah lain dalam tren tipe hedonis adalah kupu-kupu
(kuliah pulang-kuliah pulang), kunang-kunang (kuliah nagkring-kuliah
nangkring), juga tak sedikit dari mereka yang menjadi shopaholic, hampir setiap mall sudah di jambangi, beli ini, beli itu.
Memang tipe hedonis terlanjur dianggap jauh dari tradisi kampus, tapi
inilah realitanya. Kebanyakan mahasiswa hedonis, kuliah hanya sekedar
singgahan, tak peduli berapa banyak matakuliah yang mereka tinggalkan
demi ke mall dan nongkrong. Namun sekilas pengamatan saya, rata-rata
mahasiswa hedonis berkperibadian terbuka dan ekstrofet. Mereka cukup
kreatif dalam hal tertentu, hobi otomotif, stylish, dan melek teknologi. Tak heran, selain dapat sokongan dana dari orang tua, mereka juga pandai mendulang uang.
Yaa, selalu ada kelebihan dibalik kekurangan. Secara prestasi akademik,
tipe satu ini jauh dibawah mahasiswa aktifis dan akademisi tapi
tingkat kreatifitas mereka boleh diadu, mungkin bisa satu level diatas
kedua tipe lainnya.
Mahasiswa Akademisi:
Tak perlu membayangkan tipe mahasiswa satu ini. Tenang saja, tak semua kutubuku
berkacamata dan culun.hehe.. Di zaman serba maju ini, mahasiswa
akademisi juga pandai memoles citra, mulai dari cara berbicara yang
elegan, ilmiah dan cerdik, mereka juga cukup rapi. yaa seperti ungkapan
Rosalie Maggio “anda takkan bisa membuat kesan pertama untuk kedua
kalinya,” jadi, kaum akademisi cenderung hati-hati dalam menciptakan
tradisi, kesan terpelajar sudah tentu menjadi backgound mereka.
Mahasiswa akademisi lebih sering ke perpustakaan daripada ke mall,
sering menggonta-ganti buku daripada ganti handphone, dll. Soal
akademik, itu wilayah mereka, membaca buku dan mengelaborasi berbagai
ilmu untuk suatu penemuan sudah menjadi ruh. Bergabung dalam kelompok
diskusi ilmiah adalah wadah kegiatan mereka dimana pelbagai persoalan
akademik akan tumpah-ruah disitu, diulas dengan tepat, dikritik secara
tajam, dibincangkan, sampai diperdebatkan pun menjadi fenomena yang
lazim.
Selalu ada target dari matakuliah yang dipelajari pada setiap semester,
idealnya mereka ingin mendapat nilai baik. Hitam di atas putih adalah
keniscayaan, artinya; gemilang di forum harus dibuktikan dengan nilai
ijazah yang baik. Intinya, khazanah kampus kental terasa dilingkungan
mahasiswa akademisi.
Dari semua tipologi mahasiswa diatas, tak ada yang 100% sempurna,
selalu ada celah untuk menjadi kalah. Mahasiswa aktifis lama dikampus,
mahasiswa hedonis disorientasi pendidikan, mahasiswa akademisi
cenderung ekslusif. Tapi kiranya, menjadi bagian dari tiga tipologi ini
harus dinikmati, ditingkatkan nilai positifnya dari setiap tipe dan
posisi. Hendak menjadi apa dikampus adalah hak perogratif anda. Satu
pesan saya, ingat nasehat Viru Sahasrabuddhe, Jadilah pemain bola atau
jadilah apa kata hatimu. All izz well..

Komentar